Rinjani boleh bangga lantaran berpredikat sebagai gunung aktif tercantik di Indonesia dan gunung impian para pendaki di negeri bertabur gunung api ini. Semeru boleh senang karena menyandang atapnya Jawa sekaligus salah satu gunung api terpopuler di sini. Dan Kerinci boleh saja busungkan dada menjadi gunung aktif tertinggi di Sumatera bahkan Indonesia. Tapi Anak Krakatau jauh lebih membanggakan. Pasalnya gunung api di perairan Selat Sunda ini punya sederet keistimewaan dibanding tiga gunung tersebut.
Penulis bisa menyimpulkan Anak Krakatau punya banyak keistimewaan, bukan sekadar pujian manis tapi pepesan kosong atau basa-basi belaka. Melainkan berdasarkan pengamatan usai tiga kali menyambanginya beberapa tahun silam. Ditambah catatan penting dari literatur buku, film, dan sejumlah tulisan yang mengupas tentang Krakatau, induk dari Gunung Anak Krakatau ini.
Sekurangnya ada 15 keistimewaan Anak Krakatau yang penulis kumpulkan sampai detik ini yakni: salah satu gunung yang induknya memiliki sejarah letusan maha dasyat, namanya mendunia, paling banyak dibukukan/difilmkan, berada di perairan selat, dapat dijangkau dari 2 provinsi, berstatus cagar alam sejak jaman Belanda dan sebagai warisan alam dunia, memiliki festival, didaki dari titik nol Mdpl, tidak dihuni manusia, dilarang bermalam, berpanorama khas dan eksotis, banyak aktivitas menarik, anaknya paling cepat tumbuh, termasuk gunung api yang super aktif di Indonesia, dan primadona penggairah pariwisata.
Pertama, sejarah letusan induknya Anak Krakatau pada tanggal 26 dan 27 Agustus 1883 menjadi letusan gunung api terdasyat di Indonesia bahkan di dunia. Letusannya mengakibatkan gelombang tsunami, 165 desa musnah total dan 132 desa rusak parah. Letusan dan tsunaminya membunuh sekitar 40.000 orang, terbanyak di Banten (21.565 jiwa), kedua di Lampung (12.466 jiwa).
Kedua, pascaerupsi nama Krakatau mendunia karena pada waktu itu teknologi komunikasi sudah lumayan maju sehingga berita malapetaka hebat ini cepat tersebar ke seluruh dunia. Sampai sekarang pun informasi seputar Krakatau dan Anaknya masih begitu sexy, tak pernah habis ditulis sejumlah penulis dan jurnalis. Berbeda dengan peristiwa meletusnya Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, NTB pada 5 April 1815 yang tidak diketahui banyak orang lantaran saat itu teknologi komunikasi masih amat terbatas. Padahal letusannya tak kalah dasyatnya hingga memicu tsunami juga. Akibat letusannya 1/3 ketinggiannya yang asli, berkurang dari 4.200 meter menjadi kurang lebih 2.800 meter.
Ketiga, usai meletus Krakatau merupakan salah satu gunung yang paling sering dibukukan oleh sejumlah penulis termasuk artikel yang dibuat jurnalis. Bukan cuma itu juga kerap difilmkan. Salah satu buku tentang Krakatau berjudul “Krakatoa: Saat Dunia Meledak: 27 Agustus 1883”. Judul aslinya: “Krakatoa: The Day the World Exploded: August 27, 1883”, yang ditulis Simon Winchester. Sedangkan filmnya antara lain Krakatoa, East of Java bergenre drama produksi Amerika Serikat tahun 1969 yang disutradarai Bernard Kowalski dengan pemeran utama Maximilian Schell dan Dokudrama berdurasi 87 menit berjudul Krakatoa, The Last Days, produksi BBC Inggris tahun 2006 yang disutradarai Sam Miller dengan Rupert Penry Jones dan Olivia Willians sebagai pemeran utamanya.
Andai saja nanti ada film layar lebar baru berkisah tentang Krakatau ataupun Anaknya terkini yang digarap serius dan spektakuler, pasti bakal menjadi film fenomenal yang bukan hanya menarik perhatian bangsa Indonesia pun masyarakat dunia.
Keempat, berada di perairan Selat Sunda, selat yang memisahkan Pulau Jawa dengan Sumatera. Secara geografis gunung ini masuk wilayah administratif Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan. Cara umum menjangkaunya tentu saja lewat laut dengan perahu bermotor ataupun dengan jetpoil. Ada 2 keuntungan yang didapat, berwisata laut dan juga gunung sekaligus. Buat mereka yang senang keduanya tentu ini berkah. Tapi buat yang phobia laut, perjalanan ke gunung ini bisa jadi tantangan tersendiri.
Kelima, dapat dijangkau dari 2 provinsi yakni dari Lampung dan Banten. Dari Lampung antara lain dari Demaga Canti ke Anak Krakatau sekitar 2,5 jam dengan perahu bermotor biasa atau sekitar 1,5 jam dengan jetpoil atau kapal cepat . Dermaga Canti yang berjarak sekitar 10 Km dari pusat Kota Kalianda, Ibukota Kabupaten Lampung Selatan dan sekitar 40 Km dari Pelabuhan Bakauheni ini sudah ada sejak jaman Belanda.
Dermaga berpantai panjang nan landai dan berpasir putih serta dirindangi pepohonan ini pernah digunakan untuk menurunkan pasukan Belanda beserta peralatan tempurnya ketika terjadi perlawanan rakyat Lampung dibawah pimpinan Raden Intan II. Sedangkan dari Banten antara lain dari Pantai Carita, Anyer, Labuan, Pelabuhan Merak, dan perairan di Ujung Kulon.
Keenam, Anak Krakatau dan tiga pulau lain beserta perairan di sekelilingnya sejak 1919 oleh pemerintahan Hindia Belanda sudah berstatus cagar alam bernama Cagar Alam Kepulauan Krakatau seluas 13.605 hektar. Imejnya semakin mentereng setelah UNESCO menetapkan cagar alam ini sebagai Warisan Alam Dunia (The World Heritage Site) pada 1991 bersama dengan Taman Nasional Ujungkulon.
Jadi Anak Krakatau sudah menjadi milik dunia, karenanya segala aktivitas pengunjung di dalam kawasan ini harus mengedepankan keasrian alamnya.
Ketujuh, memiliki festival sesuai nama induknya yakni Festival Krakatau yang digelar setiap setahun sekali di Lampung. Kendati di gunung lain juga ada festival sesuai nama gunung tersebut tapi Festival Krakatau punya keistimewaan sendiri. Selain menampilkan parade seni budaya se-Lampung, juga ada acara kunjungan ke Anak Krakatau.